3 tempat tinggal Tradisional Betawi, no ‘Buncit’ terjadi Akulturasi Budaya Kolonial ‘Kompeni’ diduga Diadopsi dari Tanah Jawa – Tatkala mendengar kata ‘Jakarta’ tak keliru pula misalnya terlintas di pikiran deretan gedung pencakar langit moderen sampai kepadatan selanjutnya lintas. Meski begitu, perihal tersebut bukanlah hal baru!

3 rumah Tradisional Betawi, no ‘Buncit’ berjalan Akulturasi Budaya Kolonial ‘Kompeni’ diduga Diadopsi dari Tanah Jawa

Sebab, peradaban Kota Jakarta memanglah udah hadir sejak dulu saat sebagai media pertemuan kelompok-kelompok etnis dari beraneka kawasan Nusantara yang ikut mewarnai peristiwa panjang perkembangan kota ini, terasa berasal dari zaman prakolonial, kolonial, hingga setelahnya.

Tak hanya itu saja, Kota Jakarta pun membuka makna sangat penting bagi bangsa-bangsa asing yang pernah meninggalkan sejarah di fasilitas ini, layaknya India, Cina, Timur lagi tengah sampai Eropa.

Sangat lumrah kalau lantas Jakarta tidak terlepas dari ‘akulturasi’ adalah proses sosial yang timbul manakala suatu group manusia dengan kebudayaan spesifik dihadapkan bersama unsur berasal dari suatu kebudayaan asing.

Di mana perpaduan suku bangsa, ras, dan etnis melahirkan bentuk kebudayaan baru, dan lambat laun pada akhirnya jadi di terima suku Betawi atau Orang Betawi adalah kelompok masyarakat atau etnis yang rata-rata bermukim di Jakarta, Bogor, dan sekitarnya, tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan grup itu sendiri.

Menyoroti perkembangan zaman yang terus bergulir sampai hari ini, tak pelak kembali rumah rutinitas betawi kian hari tambah jarang ditemukan karena generasi dari suku asli Kota Jakarta menentukan mengikuti tren kosmopolitan karena tak ingin disebut ‘jadul’.

Menyinggung soal itu, tengok tiga tempat tinggal tradisional suku Betawi dan makna filosofisnya yang masih dijumpai di Ibu kota Indonesia, yuk tengok ulasannya!

1. rumah Kebaya atau tempat tinggal Bapang

Mengawalinya di awali bersama mengulas “Rumah Kebaya” atau “Rumah Bapang” adalah rumah adat Betawi asli yang terinspirasi berasal dari kebaya, dan berasal dari dulu sampai hari ini perkembangannya tetap tak berubah.

Bila memerhatikan wujud atap tempat tinggal sama pelana dilipat, tak ubahnya bersama lipatan rok kebaya.

Ciri khas lainnya, rumah kebiasaan ini meresmikan teras begitu luas dengan mengusung rancangan semi terbuka dan terdapat deretan bangku dan meja kursi berjajar, terhitung lantainya terlihat lebih tinggi dari permukaan tanah, diikuti pula 3 anak tangga yang terbuat berasal dari batu bata dan disemen.

Mengulik istilah filosofisnya, bahwa orang Betawi akan terbuka dan menghormati siapa pun yang datang.

Di sisi lain, rumah kebaya juga dikelilingi pagar yang pertanda kendati terbuka bersama dengan siapa pun, orang Betawi masih resmikan batasan pada hal yang negatif.

Berikutnya, di tiap-tiap sudut rumah dihiasi berbagai ornamen yang jadi identitas rumah rutinitas ini, dan yang paling menonjol adalah papan berwujud segitiga seakan-akan “gigi balang” berarti suku Betawi selamanya memegang teguh kejujuran dan kerja keras layaknya belalang.

Hiasan lain yang turut menghiasi dalam bangunan ini, yaitu berupa tumbuh-tumbuhan diumpamakan “banji” dimaknakan “bunga matahari” berarti sumber kehidupan dan terang. Filosofis maknanya, yakitu penghuni rumah resmikan pola pikir dan jiwa yang terang supaya mulai panutan bagi penghuni di sekitarnya.

2. rumah Panggung

Untuk rumah tradisi satu ini, biasanya banyak ditemui di wilayah pesisir. Alasan mengusung rancangan rumah panggung berkolong tinggi disinyalir menyiasati potensi banjir.

Demi membedakan “rumah panggung” suku asli Kota Jakarta dengan tempat lain di lokasi Indonesia yang mirip maka dalam perkembangannya, penyebutan bangunan ini dikenal juga bersama dengan sebutan lain, yaitu “Rumah Panggung Betawi”, salah satu contohnya adalah rumah Si Pitung yang terdapat di Marunda, Jakarta Utara.

Ciri utama yang mulai kekhasan dari rumah ini terletak pada “Balaksuji”, yaitu tangga di depan rumah dipercayai bakal dapat menolak bala. selain itu, “Balaksuji” termasuk dimaknakan sebagai media untuk penyucian diri sebelum akan masuk ke di dalam rumah.

Hal lain yang terasa sama juga rumah rutinitas ini tampak antara susunan bangunan banyak gunakan bahan dasar “kayu”, biarpun di beberapa sarana diakui memasukkan unsur “bambu” namun masih paling dominan menggunakan material “kayu”.

Lantaran berupa tempat tinggal panggung, maka lumrah bila bangunan ini berdiri di atas tanah. Meski begitu, antara lantainya sudah diberi tegel atau semen.

Mencermati susunan atap rumah rutinitas ini, tak sedikit dijumpai satu dengan lainnya saling tidak serupa yang gunakan unsur bervariasi sudah pasti tak dapat ditepis dikarenakan pengaruh ‘akulturasi’.

3. tempat tinggal Joglo

Persis! dari namanya, sudah memberikan hadir dampak arsitektur bangunan kebudayaan Jawa. Meski begitu, pada keduanya sekiranya dilihat masih hadir perbedaan.

Bila “Rumah Joglo” disusun oleh sistem struktur temu “gelang” atau “payung” sebagai tiang penyangga yang mengemuka bersama dengan julukan “Soko Guru” di tempat tinggal Joglo Jawa sedang Maka “Rumah Joglo Betawi” manfaatkan “kuda-kuda”.

Perihal “Rumah Joglo” yang telah hadir di Tanah Betawi sejak dulu ini, patut dikira tak bisa dilepaskan dari proses terjadinya akulturasi budaya yang diadopsi kolonial Belanda berasal dari Tanah Jawa didalam menghadirkan rumah kebiasaan tradisional Betawi.

Sayangnya, hingga saat ini belum hadir data tentu kapan pertama kali “Rumah Joglo Betawi” merasa berdiri sebagai resiko “positif” dan “negatif” di bawah penjajahan kompeni sepanjang 350 (baca: tiga ratus lima puluh) th. sejak tahun 1512.

Sekalipun tak seluruh lokasi Indonesia berhasil ditaklukkan, akan tetapi suku asli Kota Jakarta bagaikan mendapat durian runtuh, sebab terbukti terhitung telah ikut andil menghadirkan “Rumah Joglo Betawi”.

Ditunjukkan dengan Belanda mengenalkan proses “kuda-kuda” di rumah Joglo Betawi berjenis “kuda-kuda timur”, berbeda bersama dengan rumah adat lainnya, yakni “Rumah Gudang” yang terhitung mengfungsikan kerangka “kuda-kuda” tapi tak sama layaknya “Rumah Joglo Betawi” ini.

Perbedaan kian mencolok seumpama menilik struktur bangunan “Rumah Joglo” yang lebih menyerupai bujur sangkar. sesaat “Rumah Gudang” adalah empat persegi panjang diikuti lagi meresmikan perisai sedikit lebih menjurai dengan atap berbentuk “pelana kuda” atau “perahu terbalik”.

Sedangkan atap “Rumah Joglo Betawi” sendiri benar-benar menyerupai tempat tinggal Joglo Jawa. Tak heran -kehadirannya tempo dulu- Joglo dibangun sebagai lambang atau identitas yang membuktikan standing sosial (kelas sosial tertentu red). kelihatan didalam material dasarnya, “kayu” yang dipergunakan amatlah berkelas.

Sehingga, pemilik “Rumah Joglo” tentu saja sekedar orang-orang terpandang dan berasal dari kaum bangsawan yang diperuntukkan sebagai sarana menerima tamu kehormatan dari luar daerah yang perlu area yang luas.

Satu hal kembali sebagai penutup, “Rumah Joglo Betawi” ini membuka empat pokok tiang di tengahnya disebut-sebut sebagai “saka guru” gunakan “blandar” bersusun disebut “tumpangsari”.

Dari ciri khas empat pilar utama yang menyangga Joglo, dimaknakan sebagai perwujudan mewakili arah mata angin, terdiri berasal dari wetan (timur), kulon (barat), lor (utara) dan kidul (selatan) yang memiliki nilai filosofis tinggi, dan benar-benar kental didalam kehidupan sehari-hari.

Diduga istilah filosofisnya adalah pemberian berasal dari Tuhan YME kepada manusia sebagai acuan supaya pemilik “Rumah Joglo” tidak salah jalan

By Stephen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

APKSLOT
APKSLOT
slot777
letsbet77
MAINZEUS
MAINZEUS
MAINZEUS
MAINZEUS
MAINZEUS